Allah begitu dekat, melebihi dekatnya urat nadi pada tubuh kita.

 
Pada Qur’an Surat Al- Baqarah: 186, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Bahkan jika kita berjalan mendekat kepada Allah, Allah akan berlari menyambut kita. Kasih sayang Allah begitu terasa, walaupun ketika kita dalam keadaan sulit sekalipun. Karena Allah tak inginkan kita lemah jika hanya memberikan kita kesenangan dan kemudahan dan Allah tak inginkan kita terus menerus berurai airmata tanpa di selingi kebahagiaan yang menerbitkan rasa syukur. Tak perlu jauh-jauh mencari sebuah kebahagiaan, tak perlu risau dengan kesulitan, Tak perlu biaya mahal untuk mendekati-Nya, tak perlu jauh-jauh mencari-Nya.
Karena Allah ada di hati orang-orang yang beriman. Asalkan keyakinan tumbuh di dalam hati, keyakinan akan apa yang di berikan Allah adalah yang terbaik dan akan ada hikmah setelahnya maka apapun yang terjadi bisa di syukuri, InsyaAllah. Lalu apakah kedekatan kita dengan Allah bisa muncul dengan tiba-tiba tanpa adanya usaha terlebih dahulu? Seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Pada awalnya mereka tak saling mengenal, apalagi timbul sebuah rasa. Namun karena intensitas pertemuan yang makin tinggi dari waktu ke waktu sehingga menimbulkan rasa kasih dan sayang. Apalagi Dia adalah pencipta kita, maka harusnya kita harus mencintai-Nya.
Pertemuan-pertemuan tersebut menimbulkan pemahaman dan pengenalan terhadap diri masing- masing. Rasa kasih sayang yang timbul lambat laun menimbulkan rasa cinta, tatkala kekasihnya meminta sesuatu darinya maka tak akan sanggup dia untuk menolak permintaannya. Begitupun dengan Allah. Allah tak akan melekat dalam hati jika kita tak ingin mengenalNya. Dengan belajar mengenal Allah, melalui ibadah dan menjalankan segala perintahNya serta menjauhi segala laranganNya maka Allah akan dekat kepada kita. Apapun yang kita minta selama itu baik untuk kita, Allah tak akan segan untuk memberinya.
Jikalau Allah memberikan sesuatu yang tidak kita sukai, yakinlah bahwasanya apa yang kita suka belum tentu yang terbaik untuk kita dan apa yang Allah berikan adalah yang terbaik yang kita butuhkan.
Jadi, bahagia itu adalah dekatnya kita dengan (Sang) Pencipta bukan yang lain.
Dimana ketenteraman itu akan muncul melebihi segala kenikmatan duniawi.
Kesulitan pun menjadi indah tatkala Allah menjadi tumpuannya. Sungguh,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.



Pada masa lalu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sering membuat mereka cepat lari pada sesembahan yang mereka yakini; setiap ada fenomena alam yang tak bisa mereka mengerti misalnya saat ada petir, gerhana matahari atau gempa bumi atas yang lainnya sebagaimana ilustrasi yang diceritakan oleh al-Qur’an terhadap pencarian jati diri Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. :

Maka ketika malam menjadi gelap dan ia melihat sebuah bintang, ia berkata: ‘Apakah ini Tuhanku ?’ – Tetapi ketika bintang itu hilang, ia berkata : ‘Aku tidak suka kepada yang bisa menghilang !’

Saat ia melihat kemunculan bulan, berkatalah dirinya : ‘Apakah ini Tuhanku ?’ – Namun ketika bulan itu kembali hilang, dia berseru : ‘Sungguh, Jika aku tidak dipimpin oleh Tuhanku, maka pasti aku termasuk dalam kaum yang tersesat

Saat ia melihat matahari terbit, berkatalah ia : ‘Inikah Tuhanku ? Dia ini lebih besar !’ - Namun ketika matahari itu terbenam, ia berkata : ‘Hai kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang telah kamu persekutukan!’ – Sungguh aku hadapkan diriku kepada Yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan aku tidak termasuk dari orang-orang yang menyekutukan-Nya !’ - Qs. 6 al-an-am : 76 - 79

Bahkan dijaman Nabi Muhammad sendiri masih ada orang yang menghubungkan kematian seseorang dengan fenomena alam seperti saat Ibrahim, salah seorang putera dari Nabi meninggal dunia:

Dari Mughirah bin Syu’bah, katanya : ‘Terjadi gerhana matahari dimasa Rasulullah Saw, bertepatan dengan hari wafatnya Ibrahim (putera Nabi). Orang banyak lalu berseru : ‘Terjadi gerhana karena meninggalnya Ibrahim!’ – Rasulullah Saw lalu bersabda : ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang, jika kamu melihatnya sholatlah dan berdoalah kepada Tuhan’ - Hadis Riwayat Bukhari

Secara bertahap kemajuan ilmu pengetahuan alam kemudian mampu mengungkap cara kerja alam dan sampailah manusia pada suatu pemikiran, bahwa pasti ada sesuatu yang di belakang itu semua, sesuatu yang berada di belakang dewa petir, dewa laut atau dewa matahari, sesuatu yang di belakang semua hukum alam, sesuatu yang disebut Tuhan yang pernah didakwahkan oleh para Nabi.

Tidak terlihatnya Tuhan bukan berarti Dia tidak ada. Berapa banyak hal yang tidak dapat kita lihat tetapi benda itu ada. Contoh yang paling sering digunakan adalah udara yang kita hirup untuk kelangsungan hidup kita, tidak bisa melihatnya tetapi kita bisa merasakannya, bahkan Ruh yang menjadi esensi kehidupan kita, tidak dapat terlihat dan tidak bisa dimengerti hakekatnya namun kita yakini keberadaannya.; contoh lain yang akhir-akhir ini marak diberbagai acara televisi di Indonesia menyangkut penampakan makhluk halus yang secara lahiriah tidak bisa dilihat dengan kasat mata tetapi ia ada dan bisa dibuktikan melalui cara-cara tertentu termasuk misalnya dengan uji nyali.

Memang tidak ada metode ilmiah yang benar-benar dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara mutlak sampai mampu menggambarkan sosok Tuhan yang sesungguhnya, manusia hanya bisa mengambil perwujudan Tuhan dalam sosok berhala yang tidak berbeda jauh dengan dirinya sendiri, ada manusia menggambarkan Tuhan dengan wujud manusia tersalibkan bernama Yesus, ada juga manusia yang mengambil rupa seorang pangeran Magadha yang berdiam dibawah pohon pippala bernama Budha, dan bahkan ada yang mengambil rupa api sebagai wujud Tuhan seperti yang ada pada kerajaan Persi dimasa lalu.

Karena itu, Ibnu Arabi, seorang sufi Andalusia termasyur ± 8 abad yang lalu memahami seluruh alam semesta, termasuk manusia ini sebagai penampakan diri (tajalli) dari Tuhan dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa dialam ini adalah entifikasi (wujud keberadaan) Tuhan[1].

Menurutnya, gambar dalam sebuah cermin meskipun ada dan kelihatan, bagaimanapun juga hanyalah sebuah ilusi atau bayangan dari subjek yang bercermin. Dan ketika sang subjek menggunakan ribuan cermin, maka bayangan sang subjek akan menjadi banyak, padahal dia hanyalah satu. Dalam cermin jagad raya inilah Tuhan menampakkan eksistensi-Nya.
Ketahuilah bahwa tak ada satu kejadian pun yang lepas dari pandanganNya, bahkan gugurnya sepotong daun dimusim gugur sekalipun.
Lalu mengapa banyak bencana yang terkena orang tidak berdosa, itu adalah rahasiaNya, sesungguhnya setiap yang bernafas itu akan mati, tapi ingatlah ada hidup sesudah kematian, ada akhirat setelah dunia, janganlah engkau larut akan duniamu sementara kamu lupa untuk akhiratmu, ingatlah janji Tuhan itu pasti ada, jadi janganlah kau risaukan dunia yang cuma tempat persinggahan, karena tujuan akhir adalah keabadian yaitu kehidupan setelah dunia.
Apabila engkau tidak mendapatkan kebahagiaan didunia carilah kebahagiaan di akhirat kelak. Jadi untuk orang beriman tak perlu risau untuk kebahagiaan dunia karena ada yang lebih dari itu yaitu keabadian sejati.
Allah SWT adalah Tuhan sang maha Pengasih dan penyayang maka kembalilah kepadaNya, sesungguhnya tiada dosa yang tidak diampuni kalau kita mau bertobat dan nafas masih dikerongkongan.